Sesuai dengan pengertian dan tujuannya, interkonektivitas merupakan keterhubungan bersama antar bagian, entitas, ataupun antar daerah merujuk pada Indonesia-Sentris yang menjadi grand design Pemerintah Indonesia untuk menciptakan konektivitas antar wilayah, sebagai perwujudan pembangunan negeri secara merata, dan berkeadilan.

Langkah pemerintah dengan tidak melulu berfokus membangun di Pulau Jawa tentu harus disambut baik, karena ini menyangkut harkat dan kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia. Sebagai negara kepulauan yang didominasi oleh kelautan yang memisahkan antar zona, pembangunan infrastruktur fisik seperti bandar udara (bandara) berperan vital dalam konsep pembangunan ini.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI, pada 2023 tercatat ada 340 bandara di seluruh provinsi di Indonesia, di mana, 17 di antaranya merupakan bandara bertaraf internasional, selebihnya adalah bandara kelas I, Kelas III, dan Satuan Kerja.

Jawa dan Sumatera paling banyak memiliki bandara berstatus internasional dengan masing-masing 5 bandara. Kemudian, Bali-Nusa Tenggara 3, Sulawesi 2, Kalimantan 1, Papua 1. Jumlah tersebut mengalami pemangkasan dari yang semula 34 bandara. Pengurangan ini berdasarkan Keputusan Menteri Nomor 31/2024 tentang Penetapan Bandar Udara Internasional pada tanggal 2 April 2024.

Pentingnya Bandara untuk Menunjang Perekonomian

Indonesia-Sentris tidak hanya ditujukan dalam pemerataan pembangunan infrastruktur saja, tetapi ada instrumen penting yang mengerucut, yaitu menghadirkan pemerataan ekonomi di tiap daerah. Dengan adanya bandara akan memudahkan antar entitas membuka hubungan joint venture, atau kerja sama, atau kemitraan global, khususnya untuk meningkatkan potensi ekonomi di sektor perdagangan, pangan, dan pariwisata di seputar kawasan tersebut, yang juga berujung pada peningkatan ekonomi secara nasional.

Bangka Belitung Pernah!

Kepulauan Bangka Belitung adalah surganya wisata Indonesia. Bahkan, dari Pantai Tanjung Kelayang menjadikan Kabupaten Belitung sebagai kawasan strategis pariwisata nasional, dan menjadi satu dari 10 destinasi prioritas di Indonesia, atau 10 Bali baru berdasarkan Perpres Nomor 3 Tahun 2016.

Sebagai penunjangnya, Tanjung Kelayang ditetapkan Pemerintah Pusat sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2016, karena memiliki keunggulan geostrategis, yaitu terletak antara Indonesia dan negara ASEAN yang merupakan target captive market. KEK ini diproyeksikan dapat menarik investasi sebesar Rp10,3 triliun, dan proyeksi tenaga kerja sebanyak 5.000 orang pada tahun 2036. (kek.go.id).

Tidak hanya itu, pada sidang ke-211 Dewan Eksekutif UNESCO 15 April 2021, Geopark Belitong direkomendasikan oleh UNESCO Global Geopark Council (UGGC) sebagai salah satu prioritas, dan akhirnya ditetapkan sebagai UNESCO Global Geopark. Selain itu, Belitung juga ditetapkan sebagai satu dari enam destinasi untuk pilot project carbon footprint di Indonesia.

Efeknya, bandara H.AS Hanandjoeddin Tanjungpandan naik kelas sebagai bandara internasional pada 2017 untuk menunjang promosi pariwisata Indonesia. Masa itu, selain melayani penerbangan domestik ke-dari Pangkalpinang, Jakarta, Bandar Lampung, dan Palembang, H.AS Hanandjoeddin melayani penerbangan mancanegara ke-dari Kuala Lumpur, dan Singapura. Wisata Belitung ramai, ekonomi menggeliat.

Sayangnya….

Dua tahun kemudian Covid-19 menghantam dunia, wisata Belitung jalan di tempat, bahkan sekadar untuk kembali pun sulit. Status mewah yang disandang Bandara H.AS Hanandjoeddin tidak lagi ada, setelah Pemerintah mengeluarkan kebijakan melakukan pemangkasan status bandara internasional di Indonesia pada 2024, termasuk bandara kebanggaan masyarakat Pulau Belitung itu.

Bandara yang dulu melayani penerbangan mancanegara, kini bertatus domestik, dan hanya menerima penerbangan dalam negeri, yaitu dari Pangkalpinang yang notabene masih dalam provinsi yang sama, dan juga Jakarta. Revitalisasi pembangunannya pun tidak nampak. Total runway di bandara itu ‘stag’ pada 2.710 meter saja.

Bahkan, berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) RI, frekuensi penerbangan komersil di bandara tersebut dalam perminggunya hanya 31 penerbangan, dan tidak memiliki apron untuk pesawat parkir.

Masih di provinsi yang sama, Pangkalpinang. Bandaranya, Depati Amir sedikit ‘bernasib’ lebih baik. Sebagai pulau yang diisi oleh 4 kabupaten/1 kota, Pulau Bangka memang menjadi pusat industri dan perdagangan, serta pusat pemerintahan yang menghubungkan komunikasi daerah dan pusat melalui Ibu Kota Pangkalpinang. Bandara ini cukup lebih besar dari saudaranya, dengan adanya 2 terminal aktif, walaupun hanya dapat menampung 4 pesawat dalam satu waktu.

Terminal baru Bandara Depati Amir diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 14 Mei 2019 lalu. Dalam pernyataan di hadapan pers usai penandatanganan prasasti, Kepala Negara memberikan proyeksi untuk pembangunan terminal di sayap kiri, yang akan menambah kapasitas dari 3 juta, menjadi 5 juta penumpang per tahunnya. Target pembangunan infrastruktur fisik itu saat ini masih dalam progres pembangunan.

Presiden menyebutkan, pembangunan terminal ini diharapkan dapat menunjang perkembangan dunia pariwisata di Bangka Belitung, dan akan menambah frekuensi penerbangan domestik perminggu yang saat ini berjumlah 105 penerbangan. Tentunya, hal itu adalah angin segar bagi daerah. Namun, perencanaan ini dapat terus berjalan, dan selesai jika kolaborasi antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat dapat terjalin dengan baik secara berkala, sehingga sasaran Indonesia-Sentris tercapai di Kepulauan ini.