Legenda Bangka Belitung "Batu Apit"
Pada zaman dahulu, terjadi kemarau panjang di Pulau Belitung. Sudah sembilan bulan hujan tak turun. Rumput menguning. Sumber air pun mulai mongering. Warga di sejumlah kampung sekitar Simpang Tige kesulitan untuk mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Satu-satunya sumber air yang masih ada hanya di Aik Lumbo. Di sana terdapat sebuah “ lembong”.
Lembong adalah bentuk cekungan yang lebih dalam pada aliran sungai, sehingga dapat menampung lebih banyak air. Lembong di Aik Lumbo oleh masyarakat Kampung Simpang Tige disebut Lembong Peramba’an. Sumber air ini tidak hanya digunakan oleh masyarakat sekitar Simpang Tige, tapi juga kampung lain yang berjarak hingga puluhan kilometer. Bahkan, ada warga dari Kampung Balok yang ikut mencari air ke tempat itu.
Dikarenakan lembong menjadi tempat penampungan air terakhir di musim kemarau, tidak heran jika banyak hewan-hewan di dalam hutan berdatangan untuk minum dan mencari makanan di sekitar lembong. Kancil, kijang, rusa, babi hutan, burung serta satwa liar lainnya berkeliaran di tempat ini. Selain itu, di lembong-lembong tersebut banyak terdapat ikan-ikan sehingga menjadi tempat perburuan manusia.
Mendengar adanya sumber air tersebut, maka warga dari wilayah Kampung Balok berbondong-bondong pergi ke Aik Lumbo. Mereka membawa gentong untuk mengambil air. Perjalanan menuju sumber air tersebut, ternyata tidaklah semudah apa yang dipikirkan. Mereka harus berjalan jauh berkilo-kilo meter melewati hutan, padang rumput serta perbukitan.
Tersebutlah bahwa ada seorang ibu dari Balok yang juga ingin mengambil air di Lembong Peramba’an. Dia begitu kelelahan. Bagaimana tidak, sambil membawa gentong, dia menggendong anaknya yang masih kecil. Telah jauh kaki melangkah, tetapi belum juga sampai di tempat tujuan yang dimaksud.
Dalam perjalannanya, Sang Ibu menjumpai sebongkah batu besar. Karena kelelahan, dia beristirahat di batu itu. Dia merasa sudah tidak kuat lagi menggendong anaknya, maka ibu tersebut memutuskan meninggalkan anaknya itu pada cerukan batu. Di saat itu tak ada rasa khawatir sedikitpun di hati Sang Ibu menginggalkan anaknya seorang diri. Dengan gentong di tangan, dia melanjutkan perjalanan menuju Lembong Peramba’an.
Alangkah terkejutnyta Sang Ibu sesampainya di Lembong Peramba’an. Untuk mengambil air, ternyata tidaklah mudah. Banyak buaya berkeliaran di pinggiran Lembong. Namun, hasrat yang kuat demi mendapatkan air tersebut, membuatnya memberanikan diri mengusir buaya-buaya yang ada di sekitar Lembong Peramba’an.
Gentong air telah terisi penuh. Sang Ibu bermaksud segera menemui anaknya yang ditinggalkan di atas batu. Dengan langkah terseok, dia menelusuri jalan hutan sebelumnya dia lalui. Seketika muncul kekhawatiran akan keadaan anaknya yang sudah cukup lama ditinggalkan.
Sambil berjalan dia menggumam, “Mudah-mudahan la anak aku tek ndak ape-ape, aku tinggalkan surang di sanak.” (Mudah-mudahan saja anakku tidak apa-apa, ku tinggal sendirian di sana)
Hari sudah beranjak sore, hati Sang Ibu semakin ketar-ketir. Dari kejauhan dilihatnya batu tempat dia meletakkan anaknya. Namun betapa terkejutnya Ibu tersebut manakala tidak dijumpainya anaknya di atas cerukan batu. Bocah yang ditinggalkannya hilang entah kemana. Tangisan anaknya pun tak lagi terdengar.
Rasa bersalah mulai menghantui Ibu malang tersebut. Sang Ibu pun mulai mencari anaknya di sekitar batu tempat dia meninggalkan anaknya. Disingkirkannya semak belukar sekitar batu. Menit demi menit berlalu, pencarian tak membuahkan hasil apa-apa. Hingga matahari sudah semakin condong ke peraduan, sang ibu pun hanya mampu meratap sambil terus memanggil anaknya. Hingga perempuan itu pun akhirnya putus asa.
Tiba-tiba keanehan terjadi. Telinga Sang Ibu mendengar suara tangisan anaknya. Namun, pandangan matanya sama sekali tidak melihat sosok anaknya. Suara tangisan itu terdengar cukup keras, seakan berasal dari balik batu.
Dengan berurai air mata, perempuan it uterus meratapi anaknya yang tak kunjung ditemukan. Lagi-lagi keanehan terjadi. Tiba-tiba dari celah batu mengalir air dengan perlahan seperti air mata. Tangis Sang Ibu semakin meledak, karena ia meyakini bahwa air yang mengalir dari bebatuan itu adalah air mata anaknya yang juga sedih karena harus berpisah dengan ibunya.
Perempuan itu tak bisa berbuat apa-apa. Sambil terisak tangis, dia menggumam, “Sua ne anak aku te’ diapit dari batu ini, dak ade keliatan e tapi ade bunyi tangis e!” (Mungkin anakku dihimpit dari batu ini, tidak ada kelihatannya, tapi terdengar suara tangisnya)
Kejadian yang menimpa ibu dari Balok ini kemudian menyebar di kalangan penduduk tradisional Belitong yang bermukim di kampung-kampung sekitar Simpang Tige. Sejak itu pula, masyarakat menamai batu tempat Sang Ibu meninggalkan anaknya itu dengan sebutan Batu Apit (batu yang menghimpit). Disebut “Batu Apit” menganggap bahwa anaknya hilang karena terjepit di dalam batu tersebut.
Konon, pada zaman dahulu, ketika kepercayaan animisme masih begitu kental sebelum ajaran islam berkembang di Pulau Belitong, banyak masyarakat yang mempercayai bahwa Batu Apit tersebut mempunyai kekuatan magis yang bisa menyembuhkan penyakit. Terutama penyakit yang terjadi karena “apit”.
Istilah “Apit” dalam anggapan masyarakat tradisional Belitung yaitu bila ada seseorang dalam suatu keluarga menjadi sakit dikarenakan ada pelanggaran peraturan adat kampung. Contohnya, pada zaman dahulu tidak boleh membuat kamar tidur yang bersebrangan dalam rumah tingggal. Kamar tidur harus dibuat saling sejajar satu sama lain. Atau hal lainnya, tidak boleh mengambil air sumur tetangga yang posisi rumahnya di hulu.
Dahulu, dalam masyarakat tradisional Belitung sangat memperhatikan aturan peletakan tungku di dapur api, tempayan sebagai wadah penampungan air minum, dan peregasan (tempat menyimpan beras) di dalam rumah. Juga posisi dalam membuat sumur. Sebab, bila terdapat kesalahan pada hal-hal yang disebutkan di atas, akan berakibat munculnya penyakit apit.
Istilah peraturan adat kampung tentang “apit” ini sudah ada dari zaman nenek moyang dahulu dan masih dipercayai sebagian masyarakat di Belitung sampai saat ini.
Kembali ke kisah “Batu Apit”, ternyata dari legenda ini pula asal muasal penamaan Genting Apit. Genting sendiri diambil dari istilah celah diantara dua gunung. Saat pembangunan jalan tengah yang menghubungkan Kampung Simpang Tige dan Kampung Air Ruak di zaman kolonial Belanda, para pekerjanya harus bekerja keras memahat batu-batu terjal yang ada di celah pegunungan. Sedangkan apit diambil dari kata Batu Apit karena letaknya yang tidak berjauhan dari batu tersebut. Jika diamati dengan seksama, Batu Apit yang melegenda tersebut Nampak seperti miniature pegunungan yang saat ini ada di antara kiri kanan jalan yang melewati Genting Apit.
Sumber : Buku Warisan Simpang Tige
Penulis : Haril M Andersen
Fotografer : Pos Belitung-Tribunnews