Hanya Cita-Cita Semasa Kecil
DULU, kalau ditanya mau jadi apa pas gede, jawabannya selalu sama “mau jadi dokterr!”.
Ngebayanginnya keren banget gitu… Pakai jas putih, punya stetoskop, dan bisa menyembuhkan orang yang sakit. Orang tua dan guru pun sering kali mendukung, mengatakan betapa mulianya profesi dokter.
Dalam pikiran kecilku, dokter itu seperti pahlawan super yang bisa menyelamatkan dunia, tapi dengan alat-alat medis, bukan jubah atau kekuatan super.
Di sekolah, cita-cita menjadi dokter itu seperti standar emas. Setiap kali ada tugas menulis tentang cita-cita, jawabanku selalu sama, yaitu dokter. Aku membayangkan diriku nanti bisa mengenakan jas putih, dengan ruang praktek yang rapi dan penuh peralatan canggih.
Teman-temanku pun banyak yang memiliki mimpi yang sama, dan kita sering berbicara tentang bagaimana suatu hari nanti jika kami menjadi dokter.
Tapi, semakin aku tumbuh dewasa, gambaran itu perlahan mulai berubah. Saat masuk SMA, mulai terasa bahwa mimpi jadi dokter nggak semudah yang dibayangkan. Pelajaran biologi yang dulu terasa seru tiba-tiba menjadi lebih kompleks.
Ditambah lagi, ketika tahu betapa berat dan panjangnya perjalanan untuk menjadi dokter, dari kuliah yang lama, koas, hingga spesialisasi.. rasanya, kok jadi dokter nggak seindah bayanganku waktu kecil?
Kemudian, ketika harus memilih jurusan kuliah, ada momen-momen refleksi yang membuatku berpikir ulang “Apa aku benar-benar ingin jadi dokter?”, “Kalo beneran masuk kedokteran, aku bisa survive ga ya?”, “Nanti biayanya gimana ya?”.
Banyak sekali pertanyaan di pikiranku dan akhirnya aku memilih jalur yang berbeda. Mungkin, saat itu aku mulai menyadari bahwa dunia ini luas, dan ada begitu banyak jalur karir yang bisa dijelajahi, nggak hanya jadi dokter. Ketika masuk kuliah, aku mengambil jurusan yang menurutku lebih sesuai dengan kepribadianku.
Sekarang, meskipun aku belum bekerja, aku mulai melihat ke mana arah hidupku akan berjalan. Mungkin bukan profesi yang pernah aku impikan waktu kecil, tapi justru di sinilah aku merasa bisa berkembang dan memberi kontribusi.
Lucu ya, bagaimana cita-cita itu bisa berubah seiring waktu. Apa yang dulu terlihat sebagai satu-satunya pilihan, ternyata hanyalah salah satu dari banyak kemungkinan.
Meskipun jalan hidupku tidak mengarah ke ruang praktik dokter, aku tetap bersyukur, karena melalui perjalanan ini aku lebih mengenal diriku sendiri.
Cita-cita masa kecil mungkin bukan akhir dari segalanya, melainkan titik awal untuk menjelajahi siapa kita sebenarnya, dan aku yakin, tidak ada salahnya kita punya cita-cita baru ketika sudah dewasa, yang lebih realistis, dan sesuai dengan siapa kita sekarang.
Sekarang, tinggal kita aja yang menentukan “mengejar cita-cita sejak kecil atau menemukan passion yang sebenarnya?”.
Sumber : -
Penulis : Suprapti
Fotografer : -