Era dimana Kebohongan dapat Menyamar menjadi Kebenaran
Teknologi digital berbasis internet telah mengubah secara fundamental cara orang dalam berkomunikasi. Lanskap digital ini tidak hanya membuka jalan bagi beragam praktik bisnis dan ekonomi, tetapi juga membawa implikasi pada bidang komunikasi, sosial, dan politik. Kehadiran teknologi berbasis internet diyakini telah membuka jalan bagi demokratisasi informasi maupun berbagai macam praktik bermasyarakat diruang digital sehingga khalayak atau masyarkat memiliki cara baru untuk mengekspresikan kepentingannya masing masing. Individu-individu menjadi cenderung lebih bebas berpendapat dan dapat menentukan sendiri ketika mengartikulasikan kehendaknya.
Selamat datang di Era Post Truth
Merujuk pada Oxford Dictionories, post-truth didefinisikan sebagai, “relating to or denoting circumtances in which objective fact are less influential in shoping public opinnion than appeals to emotion and personal belief”. definisi ini menggarisbawahi lebih pentingnya emosi dan keyakinan personal dari pada fakta objektif dalam membangun opini publik. sementara The Cambridge Dictionary mendefinisikan era post-truth sebagai situasi di mana orang menjadi lebih menerima argumentasi berbasis emosi dan keyakinan dari pada argumen yang berbasis fakta. Istilah ini merujuk pada sesuatu yang dirasa benar, meskipun pada kenyataannya belum tentu benar. Jadi, klaim kebenaran dibangun berdasarkan pada prefensi pribadi dan prasaan individu, bukan pada fakta sebenarnya dan kepastian yang bersifat logis serta ilmiah.
Martin Gurri, dalam bukunya The Revolt of the Public and the Crisis of Authority in the New Millennium (2014), mengungkapkan bagaimana internet telah merombak dinamika otoritas dan kepercayaan. Di era digital, semua orang dapat menyuarakan pendapat dan bahkan menantang keputusan-keputusan otoritatif yang selama ini mendominasi ruang publik. Hal ini berdampak pada menurunnya kepercayaan terhadap institusi tradisional, yang membawa tantangan besar bagi demokrasi dan stabilitas sosial. Bagaimana kita bisa memilah antara fakta dan fiksi di tengah badai informasi ini? Bagaimana menjaga integritas pengetahuan ketika setiap orang merasa berhak atas opininya sendiri, terlepas dari keahlian atau pemahaman mereka? Dalam bukunya The Death of Expertise (2014), Tom Nichols menyoroti masalah ini dengan istilah "egalitarianisme intelektual”. Ia menjelaskan bahwa fenomena ini memperkuat anggapan keliru bahwa semua pesan memiliki bobot yang sama, yang sering kali menyejajarkan informasi berbasis sains dengan klaim tanpa dasar.
Platform media sosial dan mesin pencari memperparah masalah ini, karena algoritma kerap memperlakukan semua sumber informasi secara setara, menciptakan ilusi bahwa semua pendapat sama validnya. Gurri bahkan menambahkan bahwa ledakan informasi yang tidak terkontrol telah menciptakan "nihilisme digital," di mana masyarakat mulai mempertanyakan segalanya, meruntuhkan kepercayaan terhadap otoritas. Kemajuan dalam teknologi kecerdasan buatan (AI), khususnya dalam bentuk AI generatif, semakin memperburuk disinformasi. Teknologi ini mampu menciptakan teks, suara, bahkan gambar yang sangat meyakinkan sehingga sulit dibedakan dari kenyataan. Di tengah lanskap informasi yang kian kacau ini, kebenaran menjadi konsep yang semakin sulit dipahami dan dipertahankan. AI generatif, yang terus mengaburkan batas antara fakta dan fiksi, memerlukan kewaspadaan yang tinggi dari setiap pengguna informasi digital.
Di tengah derasnya aliran informasi digital, kita kerap dihadapkan pada ironi yang sulit dielakkan. Algoritma—seperti yang dijelaskan Kartik Hosanagar dalam bukunya A Human's Guide to Machine Intelligence: How Algorithms Are Shaping Our Lives and How We Can Stay in Control (2019)—adalah arsitek tersembunyi di balik panorama informasi yang kita lihat setiap hari. Dirancang untuk memperluas cakrawala, algoritma justru sering menciptakan “ruang gema” yang memantulkan pandangan dan kepercayaan kita sendiri. Kita seolah terjebak dalam labirin di mana hanya pemikiran kita sendiri yang terus bergema.
Cass R. Sunstein, dalam bukunya On Rumors: How Falsehoods Spread, Why We Believe Them, What Can Be Done (2009), menyentuh akar dari fenomena disinformasi ini: daya pikatnya terletak pada kemampuannya membangkitkan emosi kita, khususnya rasa takut dan harapan. Disinformasi memikat karena sering kali mengukuhkan identitas dan narasi yang telah kita bangun tentang diri kita dan dunia sekitar. Bahkan ketika kebohongan terbentang di depan mata, kita mungkin tetap menari dalam irama narasi itu selama ia sesuai dengan kisah pribadi yang telah kita yakini. Tantangan kita saat ini bukan sekadar memilah informasi yang benar dari yang salah, melainkan membangun kapasitas berpikir kritis di tengah banjir informasi. Demokratisasi informasi adalah berkah, tetapi tetap perlu diimbangi dengan otoritas ahli agar pengetahuan tetap terjaga integritasnya.
Lee McIntyre (2018: 93) mengatakan, kehadiran media sosial menjadi penanda kaburnya batas antara yang disebut berita berdasarkan fakta dan opini pribadi. Setiap orang dapat berkomentar dan mengunggah informasi yang disukai dan diyakininya. informasi faktual dan informasi yang berbasis keyakinan dan opini pribadi menjadi sulit sekali dibedakan. Setiap orang bisa menciptakan informasi dan membaginya secara online. Mereka merasa menemukan kebenaran personal yang disukainya meskipun tidak berbasis fakta melalui ruang-ruang media sosial. Di era Post-truth, jurnalisme yang tidak bertanggung jawab dan narasi yang mudah menyebar di media sosial dapat memperkuat bias, memperkeruh perdebatan publik, bahkan membentuk opini berdasarkan viralitas, bukan validitas. Ini menjadi tantangan besar bagi integritas pengetahuan, karena informasi yang tidak akurat atau manipulatif lebih mudah menyebar dan memengaruhi banyak orang sebelum bisa diverifikasi. Arus informasi yang deras ini telah menciptakan jaring pengendalian yang kuat. Alih-alih manusia mengendalikan informasi, kini arus informasi yang mengendalikan manusia. Kita dihadapkan pada tantangan untuk mempertahankan kendali atas persepsi dan opini kita sendiri di tengah banjir informasi digital.
Di sinilah kebijaksanaan kuno memiliki tempat penting di tengah gempuran digital. Filsuf Yunani kuno seperti Socrates mengajarkan metode dialektika—gaya berpikir yang menekankan dialog dan pertanyaan yang kritis. Socrates mengingatkan kita untuk selalu mempertanyakan asumsi-asumsi yang kita miliki. Di era digital, pendekatan ini tetap relevan. Kita perlu menggali semangat keingintahuan dan skeptisisme yang sehat ketika berhadapan dengan informasi online. Stoikisme, sebuah filosofi kuno lainnya, juga memberikan pelajaran berharga bagi era informasi saat ini. Stoikisme menekankan pentingnya fokus pada hal-hal yang berada dalam kendali kita. Dalam konteks digital, ini berarti memiliki kendali atas apa yang kita konsumsi dan bagaimana kita meresponsnya. Membangun “diet informasi” yang seimbang, yang mencakup sudut pandang yang berbeda, akan membantu kita tetap terbuka dan waspada terhadap bias kognitif yang mungkin muncul.
Peran Pemerintah dan Institusi Pendidikan
Dalam menghadapi fenomena ini, peran pemerintah dan institusi pendidikan menjadi semakin krusial. Pemerintah perlu mengambil langkah proaktif dalam meregulasi lanskap digital, menciptakan kebijakan yang mendorong transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam distribusi informasi. Transparansi algoritma pada platform digital, perlindungan terhadap privasi pengguna, dan regulasi terhadap penyebaran disinformasi adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk melindungi integritas pengetahuan dan mengurangi dampak negatif dari disinformasi post-truth. Sementara itu, institusi pendidikan harus melakukan revolusi dalam kurikulum mereka, menjadikan literasi digital sebagai inti dari pendidikan modern. Literasi digital yang komprehensif bukan hanya mengajarkan keterampilan teknis dalam menggunakan perangkat digital, tetapi juga mencakup pemahaman kritis terhadap informasi, etika digital, dan kesadaran akan dampak sosial dari teknologi. Di luar literasi digital, pendidikan perlu fokus pada pengembangan "keterampilan manusia" yang tidak bisa digantikan oleh kecerdasan buatan. Keterampilan seperti kreativitas, empati, kemampuan berkolaborasi, dan pemecahan masalah kompleks sangat penting untuk menghadapi tantangan masa depan. Sugata Mitra dalam TedTalk-nya menekankan bahwa kurikulum masa depan harus berfokus pada tiga keterampilan utama: pemahaman membaca, keterampilan pencarian informasi, dan kemampuan berpikir kritis. Dengan keterampilan ini, generasi mendatang akan lebih siap menghadapi tantangan yang tak terduga dan mampu mengadaptasi diri dalam ekosistem digital yang terus berubah.
Menghadapi tantangan ini, kita perlu membekali diri dengan literasi digital yang mumpuni. Literasi digital yang kuat tidak hanya berarti mampu menggunakan teknologi, tetapi juga mencakup kemampuan untuk memahami dan memverifikasi informasi secara kritis. Kita perlu mengasah kemampuan untuk memilah sumber-sumber informasi, memeriksa kredibilitas, dan memahami konteks yang mendasari setiap konten yang kita temui.
Selain itu strategi menghadapi era Post-truth adalah mempersiapkan publik sebagai critical mass (masa yang kritis), yang tidak mudah terprovokasi dan mampu melakukan counter pada berbagai bentuk disinformasi post-truth. Membangun masa kritis adalah dengan cara menanamkan berfikir kritis dalam kehidupan sehari hari, termasuk dalam praktik bermedia. Berfikir kritis ini perlu diterapkan sejak dini, sejak usia sekolah, anak-anak harus dibiasakan untuk tidak menerima begitu saja informasi yang diperoleh. mereka harus diajak melakukan refleksi, bertanya, serta dilatih untuk berdebat dan berargumentasi tentang fakta, informasi yang diterimanya. Selain berfikir kritis, gerakan literasi media kritis menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan agar pengguna dan konsumen media tidak menjadi objek manipulasi industri media maupun pihak-pihak yang memanfaatkan media. Jadi literasi media kritis adalah gerakan yang bertujuan untuk membebaskan khalayak dari berbagai manipulasi dan hegemoni oleh dan melalui media. Menurut Douglas Kellner dan Jeff Share (2005), literasi media kritis bisa membantu individu untuk lebih cerdas dalam menggunakan media, kritis dalam membaca pesan-pesan media, mampu mengkaji implikasi penggunaan media, serta dapat menciptakan berbagai pesan (konten) media alternatif. Dalam literasi media kritis, pengguna dan konsumen media tidak hanya menguasai pengetahuan dan keterampilan untuk menggunakan dan membaca media saja, tetapi juga memiliki sensitivitas dan daya kritis atas relasi kuasa yang tidak seimbang, serta menyebabkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan di dalam masyarakat.
Keseimbangan adalah kunci untuk menghadapi tantangan di era post-truth ini. Keseimbangan antara keterbukaan informasi, integritas pengetahuan, inovasi, dan nilai-nilai kemanusiaan perlu dijaga agar teknologi dapat benar-benar memperluas potensi manusia. Dengan kombinasi kesadaran, pendidikan, dan kebijakan yang tepat, kita dapat mengatasi dampak negatif dari disinformasi post-truth dan menggunakan teknologi sebagai alat untuk memperkaya kemanusiaan.
Di masa depan, tantangan akan semakin kompleks, tetapi dengan komitmen untuk menjaga integritas pengetahuan dan membangun kebijaksanaan digital, kita akan mampu bertahan dan berkembang di tengah arus informasi yang terus berputar.
Membangun kebijaksanaan digital berarti menyeimbangkan antara teknologi dan kapasitas manusia untuk berpikir kritis dan selektif. Literasi digital yang kuat tidak hanya membantu kita mengenali informasi yang valid, tetapi juga mengembangkan pola pikir kritis dan etis dalam menanggapi konten yang kita temui. Di era ini, kita harus berani mengambil kendali atas apa yang kita konsumsi, memupuk keingintahuan, dan mempertahankan semangat skeptisisme yang sehat—bukan untuk menolak kemajuan, tetapi untuk mengarahkan kemajuan ini ke arah yang bermanfaat.
Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kampanye “Babel Semakin Cakap Digital” yang digaungkan bertujuan untuk memperkuat kemampuan masyarakat dalam memilah dan memahami informasi digital dengan benar. Di tengah arus informasi yang deras, literasi digital yang cakap akan menjadi bekal penting untuk menjaga kualitas pengetahuan, menghindari hoaks, dan memperkuat ketahanan sosial kita. Semoga dengan semakin cakapnya kita dalam literasi digital, lautan informasi yang tanpa batas ini bisa menjadi berkah, bukan kutukan. Kembali kepada semangat “Babel Semakin Cakap Digital,” mari kita bangun kebijaksanaan digital yang tidak hanya menghubungkan, tetapi juga mendewasakan cara kita memahami dunia.
Leo Randika
Ketua Tim Pengelolaan dan Penyedia Informasi Diskominfo Kep. Babel.
Sumber : Diskominfo Babel
Penulis : leo
Fotografer : zi