Desember yang Tak Lagi Sama
Aku menatap kotak musik yang berada di atas meja belajarku dengan tatapan nanar. Kini, tak lagi sama. Desember yang dulunya ku anggap bulan paling petaka, justru kini aku menangisinya. Menangis menyesal telah melepas sang Desember.
Aku menenggelamkan kepalaku di atas telungkupan tanganku. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak dapat membendung lagi emosi, kecewa, benci pada diri sendiri. Wajahku lembab dengan air mataku yang mengalir mengeluarkan sesak di dadaku.
***
Aku dengan wajah tegang, takut, panik dan kedinginan langsung berlari masuk ke rumahku, dan menuju kamar mandi. Aku segera mengganti bajuku dan langsung mengambil handponeku yang berada di tas. Aku mencari kontak bernama “Aira”. Dengan sigap aku menelpon sahabatku tersebut.
“Airaaaaaaaaaaaaaaaaa…. Gawattttt!” teriakku kencang. Terbayang olehku wajah Aira yang sedang kesal dan menjauhkan handponenya dari telinganya. Kemudian, mengutuki dengan banyak kutukan yang membuatnya puas.
“Apaan sih, Sya!!!” bentaknya sebal. “Copot ni telinga, tau!” ku dengar Aira mencibir dari seberang telepon seperti orang komat-kamit.
“Gawat, Ai! Gue jadian sama si Gatot. Aduh gimana nih. Habis sudah hidup gue, meninggal nih gue.” Aku mulai panik mengingat nasibku ke depannya.
“Hah!!!” kini gantian Aira yang teriak histeris. “Sumpeh lo? Kok bisa? Gimana sih lo Sya? Ngapain lo jadian sama dia?”
Aku menutup telingaku, menjauhkan handponeku. Cerocosan Aira seperti kereta api yang memiliki gerbong begitu panjang. Memekakkan telinga dan tanpa henti. “Ceritanya tuh tadi kan lo udah dijemput sama papa lo. Terus gue sendirian nungguin jemputan ibu gue. Eh, ibu gue bilang bisa jemput sekitar sejam atau dua jam-an lagi. Tiba-tiba dia datang dengan motor ninjanya itu. Terus dia maksa untuk ngantar gue. Karena gue takut sendirian nunggu di halte, ya terpaksa gue iya-in.” ceritaku sambil menarik nafas sejenak.
“Sya? Lo masih hidup, kan? Pelan-pelan aja ceritanya. Gue tau kok apa yang lo rasain.” Ujar Aira menenangkanku. Aku menatap wajahku di cermin, wajahku terlihat pucat.
“Terus, pas di perjalanan dia nembak gue. Dia tuh posisinya noleh ke belakang liatin wajah gue. Dan nggak bakal noleh ke depan kalau gue nggak jawab iya.” Lanjutku sambil menghela nafas. “Mau nggak mau deh gue jawab iya, daripada gue mati konyol, kan?” Tanyaku pada Aira, tapi bukan seperti kalimat tanya, namun kalimat pernyataan yang meminta menjawab iya agar hatiku tenang.
Aku menjatuhkan tubuhku di tempat tidur. Memejamkan mata sambil mengutuki diri sendiri yang jatuh ke belokan takdir dengan tikungan tajam. Aku merasa Bulan Desember kali ini begitu petaka dalam hidupku.
***
Aku terbangun dengan mata yang sedikit gatal, aku menoleh ke belakang. Kulihat kondisi mataku yang ternyata mulai membengkak. Aku melihat buku bertuliskan “Kumpulan Soal Olimpiade Matematika” di rak buku-ku. Buku itu seakan memutar otakku untuk mengingat kenangan itu.
“Kita, berhenti sampai di sini aja, ya.” Aku memberanikan diri untuk memutuskan hubunganku dengan Gatot.
“Kenapa? Kamu nggak bisa liat usaha aku selama ini? Apa aku masih belum bisa buat kamu cinta sama aku? Aku disini bersaing sama bayangan. Bayangan mantan kamu yang udah ninggalin kamu seenaknya, Sya.” Tuturnya dengan suara bergetar. Aku menunduk. Aku menahan nafas. Sesak rasanya mendengar kata-katanya yang terakhir. Memang benar, aku masih mencintai mantanku .
“Sya, aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Kita jangan putus ya, Sya.” Ujarnya sambil memohon. Aku melihat matanya mulai memerah.
“Kalau kita jodoh, kita pasti bakal dipersatukan kok, Ga.” Jawabku enteng namun hati-hati. Dia diam, dia menunduk. Aku memalingkan wajahku. Ketika aku menatap kedepan lagi, kulihat Gatot menangis tanpa suara tanpa tubuh berguncang, hanya air mata menetes seperti embun pagi. Hatiku tertohok, Gatot yang selama ini aku kenal orang paling pendiam, mempunyai tatapan paling tajam, dan sering berkelahi, kini meneteskan air matanya.
***
Aku menyadarinya setelah Desember berganti selama dua kali. Setelah kami benar-benar terpisah oleh impian kami masing-masing. Aku masih diam dengan rasa yang kupendam, tanpa suara, tanpa rindu yang tersirat dari raut wajah, tanpa kata-kata sapaan. Aku dan dia sama-sama diam membeku.
Kata-kataku yang dulu aku ucapkan dengan mudahnya, kini terasa kelu di lidah, terasa perih jika dicerna oleh hati. “Kalau kita jodoh, kita pasti bakal dipersatukan kok, Ga.”
Aku tak tahu apakah dia tahu kalau aku kini telah jatuh di dalam hatinya. Mencintai dengan suasana kebekuan ini, lebih sakit dari rasa apa pun. Kubiarkan hanya Desember yang tahu ini.
Sumber : -
Penulis : Intan Pitaloka
Fotografer : -