Cerita Rakyat Bangka Belitung "Bujang Katak"
Pada suatu hari, ada seorang ibu yang tinggal sebatang kara. Suaminya sudah lama meninggal, dan beliau tidak punya anak. Ibu itu amat menginginkan seorang anak. Dia ingin ada yang menemaninya di hari tua nanti.
“Aku akan merawat anakku dengan baik meski dia berupa anak katak,” janji Ibu itu.
Keinginan ibu itu terkabul. Saat mencuci baju ke sungai, dia menemukan seorang bayi laki-laki. Wajah dan perawakan bayi itu persis seperti katak. Kulitnya juga licin dan bentol-bentol seperti katak.
Namun, Ibu tetap membawa pulang bayi itu dan merawatnya dengan penuh kasih. Dia memberi nama bayi itu ‘Bujang Katak’. Meski berwajah dan berperawakan seperti katak, Bujang Katak tidak pernah rendah diri ataupun insecure.
Hari bertambah hari, Bujang Katak tumbuh menjadi pemuda yang tegap. Ibu amat bangga memiliki putra seperti Bujang Katak. Dia dikenal ramah dan rajin bekerja. Bujang Katak juga punya banyak teman.
Namun akhir-akhir ini, Bujang Katak tampak resah.
“Kamu kenapa?” tanya Ibu.
“Ngg… tidak apa-apa, Bu,” sahut Bujang Katak sambil menunduk.
Bujang Katak lalu masuk kamar dan bercermin.
“Tubuhku seperti katak, bundar dan berleher pendek. Kulitku juga persis katat. Licin berlendir dan bentol-bentol. Apa ada gadis yang mau jadi istriku?”
Rupanya , Bujang Katak sedang risau akan keadaan dirinya. Padahal, selama ini dia tak pernah rendah diri. Dia melihat teman-teman seusianya sudah menikah. Bujang Katak juga ingin menikah.
Akhirnya, Bujang Katak berterus terang kepada ibunya.
“Bu, aku ingin menikah.”
Ibu terbelalak senang. Namun, seketika matanya meredup ketika mendengar siapa wanita yang ingin dinikahi anaknya itu.
“Aku ingin menikah dengan salah satu dari tujuh putri Raja.”
“Mengapa harus putri Raja?” tanya Ibu cemas.
“Karena aku dengar ketujuh putri Raja itu cantik dan berbudi luhur,” sahut Bujang Katak.
“Mengapa, Bu? Apakah putri Raja tidak akan mau mempunyai suami sepertiku?” tanya Bujang Katak.
Ibu menggeleng penuh kasih. Beliau berjanji akan melamar putri Raja bagi Bujang Katak.
Ibu pun berangkar ke istana. Beliau memberanikan diri melamar salah satu putri Raja.
“Hah? Bujang Katak? Mana mungkin putriku menikah dengan dia? Putri-putriku cantik, sedangkan anakmu, persis katak,” Raja menolak.
Namun, Raja tidak mau memutuskannya sendiri. Beliau mempersilahkan ketujuh putrinya untuk mempertimbangkan lamaran itu.
Putri pertama sampai putri keenam menolak. “Kami tidak mau, Ayah.”
Namun putri ketujuh mempunyai jawaban berbeda. “Tidak apa-apa Ayah. Bujang Katak adalah pemuda baik dan bertanggung jawab. Tidak masalah seperti apa perawakannya.”
Putri bungsu lalu meminta Ibu untuk mengajak Bujang Katak datang melamarnya. Bujang Katak senang sekali. Dengan memakai baju terbaik, dia datang ke istana. Sayang, Raja memberinya syarat yang cukup berat.
“Karena anakku adalah putri Raja, kamu harus membangun jembatan emas yang menghubungkan istana dengan rumahmu,” pinta Raja.
“Jembatan emas? Baiklah, aku akan membuatkannya,” sahut Bujang Katak.
Bujang Katak bercerita pada Ibunya tentang permintaan Raja. “ Wah, dari mana kita mendapatkan emas? Kita bukan orang kaya. Kita ini hanya rakyat biasa,” kata Ibu. “Lupakan saja niatmu menikahi putri Raja,”
Tapi Bujang Katak tidak mau menyerah. Dia yakin, dia bisa mendapat banyak emas dengan bekerja keras. Bujang Katak melakukan pekerjaan apa saja demi mendapatkan upah. Dia bekerja mulai dari pagi buta sampai malam hari.
Selain bekerja keras, Bujang Katak tidak henti-hentinya berdoa. Dia berharap ada keajaiban yang terjadi pada dirinya. Hingga suatu malam dia bermimpi. Dalam mimpinya, dia mandi di sumur belakang rumahnya. Usai mandi, seluruh kulit tubuhnya terkelupas. Bujang Katak menjadi pemuda tampan berkulit halus.
“Apakah mimpiku benar?” Bujang Katak terbangun tengah malam.
Dia bertekad untuk mencoba apa yang dia lakukan dalam mimpi. Besok, dia bangun pagi sekali dan pergi ke sumur belakang rumahnya. Bujang Katak mandi dengan hati-hati. Ternyata benar, kulit tubuhnya mengelupas! Bujang Katak segera berlari ke dalam kamar. Dia bercermin dan memandangi dirinya. Kini, dia bukan lagi pemuda yang seperti katak.
“Ibu… Ibu,” teriaknya mencari Ibu.
“Hei, siapa kamu?” ibu melonjak kaget melihat ada pemuda tampan di hadapannya.
“Aku Bujang Katak, Bu.” Bujang Katak pun menceritakan semuanya pada Ibunya. Bujang Katak lalu mengajak Ibunya pergi ke sumur. Dia hendak menunjukkan tumpukan kulitnya yang tertinggal di sana. Namun, kulit itu sudah berubah.
“EMAS?” teriak Bujang Katak.
Ya, kulit Bujang Katak yang tadi menumpuk di pinggir sumur, kini berubah menjadi emas. Ibu mengucek mata, seakan tak percaya.
“Nak, kamu bisa membangun jembatan dengan emas ini?” Bujang Katak dan Ibu berpelukan. Mereka senang sekali.
Bujang Katak memenuhi janjinya pada Raja. Siang malam, dia bekerja membangun jembatan. Dia juga mengajak teman-temannya untuk membantu, mereka dibayar dengan amat layak. Siang malam, mereka bekerja keras. Hingga akhirnya, jembatan emas yang megah pun siap. Bujang Katak memandang bangga pada hasil kerjanya. Tidak lupa dia mengucap syukur pada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Hari ini, Bujang Katak pergi menghadap Raja. “Yang Mulia, jembatan emas telah siap. Mari saya tunjukkan pada Yang Mulia,” kata Bujang Katak.
Raja memandang Bujang Katak bingung. “Siapa pemuda ini? Mana pemuda yang seperti katak dulu?” tanyanya pada Ibu Bujang Katak.
Ibu pun menjelaskan kejadian yang menimpa Bujang Katak. “Jadi pemuda ini adalah putra hamba. Sekarang, dia tidak lagi seperti katak.”
Diam-diam, putri bungsu mengintip dari balik tirai. Dia amat senang melihat Bujang Katak datang. Apalagi, kini wajahnya tampan rupawan. Raja pun mengajak tujuh putrinya pergi melihat jembatan emas. Jembatan itu begitu indah dan berkilau.
“Wow!”
“Ck..ck, indah sekali.”
“Hebat!” begitu komentar orang-orang.
Raja pun menoleh pada putri bungsu. “Jadi bagaimana? Kamu siap menikah dengan pemuda pilihanmu ini?”
Putri bungsu tersipu dan mengangguk. “Ya, Ayah. Dia sudah membuktikan kesungguhannya dengan mewujudkan jembatan emas ini.”
“Baiklah, Bujang Katak. Mari kita bicarakan rencana pernikahanmu dengan putri bungsuku,” ajak Raja. Mereka semua lalu kembali ke istana dan merencanakan pesta yang meriah.
“Sebarkan undangan, semua orang boleh datang,” kata Raja.
Kini, Bujang Katak dan putri bungsu sudah menjadi suamu istri. Mereka tinggal di rumah Bujang Katak. Meski demikian, jembatan emas mempermudah putri bungsu untuk mengunjungi ayah dan ibunya. Bujang Katak dan istrinya hidup bahagia selama-lamanya.
Sumber : Bhuana Ilmu Populer
Penulis : Dian K
Fotografer : pngtree